Berkeringat Dingin (Cerita)

Pagi itu masihlah cerah, berkisar pada pukul 9.00 WIB, di hari minggu. Tetapi, terasa sekali langit mulai memerah dipelupuk mata bahkan mengalir hangat. Ya, darah mulai mengalir dipelipis mata kiri. Saya yang terduduk menunduk lemah berusaha merebahkan badan kepinggiran sungai yang kering, dan melihat Ujang berlari sambil berteriak yang hampir tidak terdengar jelas karena derasnya air.

"Bang, ga apa-apa kan?" ucapnya panik, "Abang, ga apa-apa kan?" tanya kedua kali, mungkin berusaha menenangkan dirinya sendiri. "Ga tau Jang" ucap saya lemah, "Gw minta rokoknya Jang?" ucap saya selanjutnya, "Ga bisa bang, jangan ya" mukanya berubah pucat dan bingung. Kok bisa-bisanya pada saat dan kondisi ini saya meminta rokok? mungkin pikirnya saat itu.

"Ujang, gw minta rokoknya" kata saya kembali lebih kuat, "Jangan bang, aduhh kenapa minta rokok sih?" kata dia sambil, memegang saku bajunya. "Gw minta rokoknya, mungkin itu rokok gw yang terakhir hari ini" ucap saya melemah, "Ehhh, iya bang, iya bang, iya sebentar" tangannya segera mengambil satu batang dan menyerahkan kepada saya sambil gemetar keras.

Kembali 1 jam sebelumnya, dimana ini berawal. Pagi ini sudah saya rencanakan sebelum-sebelumnya, rencana untuk meneliti batuan-minera dan struktur geologi pada lokasi ini. Alasannya sederhana, karena lokasi yang dianggap menarik dan mumpuni untuk menjawab hubungan geologinya. Tetapi saya tidak pernah turun kebawah karena medan yang sulit, kecuraman lereng dan dekatnya dengan air terjun yang berpotensi licinnya jalur. Saya dan 1 orang rekan tim berangkat dari kamp.

30 menit sebelumnya, tiba dilokasi yang harus melewati jalur produksi tambang. Saya meminta izin pintas menuju tempat penyelidikan, karena itu hari minggu tentunya tidak banyak penjagaan sehingga bisa diakses lebih cepat. Dengan berjalan sekitar 5 menit, sampailah kami pada tujuan.

10 menit sebelumnya, kami memantaskan diri untuk melihat jalur lokasi yang bisa dilalui menuju kebawah. Dengan kelerengan 70-80 derajat, disertai tidak adanya pepohonan yang bisa dijadikan pegangan dan bebatuan yang licin. Tentunya jalur itu beresiko dan mampu meluncurkan kami sejauh 6 meter dari atas tebing dengan mudah, mungkin menghantam batuan dibawah atau diterjang arus sungai yang deras.

1 menit sebelumnya, kaki saya sedang menginjak rekahan dinding dengan memegang kuat beberapa batu yang menonjol. Akan tetapi, batuan tersebut dilapisi lumut yang tebal dan memancing kemungkinan lepasnya pautan jari pada batu tersebut. Ketika hendak menginjak rekahan batuan dibawahnya, seketika juga saya terpeleset dan terbanting ke dinding yang menonjol dibawahnya dan terhempas bebas dengan kaki terlebih dahulu. Dengan sisa jarak 5 meter, kaki saya tentulah tidak kuat menahan beban dan daya gravitasi, kepala saya dengan berani menghantam batuan yang menonjol di pinggir sungai.

Jawa Barat, 2010
Saya menerima rokok yang diberikan Ujang dengan tangan kanan yang tertutup darah setelah menyeka pelipis. Dan saya merasakan tangan dingin yang gemetar Ujang karena ketakutan akan nasib saya, sambil menghidupkan dan menghembuskan asap rokok. Saya melihat urat kuarsa didinding yang menghempaskan itu.

Komentar