Pilihanku Bukan Tanpa Alasan

Hari masihlah terang, berjalan kaki dengan menghirup udara bersih bahkan dikota-kota besar Indonesia. Pasar-pasar pagi tertata rapi bersusun didalam kompleks pasar sehingga tidak ada perdagangan konvesional, ditambah kebersihan dan kenyamanan berbelanja karena didukung dengan tempat sampah dan penjual-pembeli yang tertib. Lebih hebatnya lagi pendidikan gratis 12 tahun yang sangat mendukung, tanpa cara-cara yang rumit karena subsidi antara kaya dengan miskin. Serta satu lagi, bank-bank dan ekonomi yang diatur secara syariah, tanpa riba sama sekali, dan saya terbangun karena mendengar kereta lewat dengan tidak peduli.

Permasalahan bangsa Indonesia itu banyak, bahkan sama dengan permasalahan dengan negara maju sekalipun (kecuali negara syariah seperti Brunei Darussalam). Tetapi bukan berarti kita pindah negara atau mencari tempat yang nyaman adalah jawaban, yang dibutuhkan adalah partisipasi kita sebagai masyarakat majemuk Nusantara.

Bagaimana caranya? Dengan cara memilih pemimpin pada pemilu presiden 2014 ini, tentukan berdasarkan semua pertimbangan yang kita lihat. Jika mempertimbangkan dan memilih dari awal itu bagus, akan tetapi memilih diakhir berdasarkan semua data dan fakta yang terakhir akan lebih bagus.
Tulisan ini berdasarkan pertimbangan panjang dari awal pengajuan maupun mengajukan, baik yang maju maupun yang diajukan. Hingga hari ini, malam sebelum pencoblosan.

Pertama saya mulai dengan mengunduh riwayat hidup masing-masing capres dari website KPU, sehingga mendapatkan data resmi. Tidak ketinggalan pula visi-misi pasangan capres-cawapres yang dapat diunduh dengan mudah dari KPU, mungkin hal ini tidak semua masyarakat lakukan baik karena keterbatasan sarana maupun keterbatasan waktu. Setelah membaca keduanya dengan segera saya tahu bahwa ada perbedaan yang mendasar pada masing-masing capres-cawapres yaitu, tekad yang jelas.

Cara penyampaian dari pemaparan visi-misi terlihat pasangan yang satu mempunyai data dan fakta yang akurat dan terukur serta terhitung sehingga tidak bertele-tele dalam menyampaikan ide dan caranya yang tajam. Sedangkan satunya lagi detail tetapi bias, sehingga terlalu panjang untuk dipahami apa yang mau dilakukan dan bagaimana menempuhnya secara jelas?

Poin kedua dari visi-misi pasangan yang satu membahas ekonomi syariah untuk membangun bangsa dari mana memperolehnya, mengelola dan menggerakkan uang amanah. Sedangkan yang satunya lagi melakukan gerak ekonomis secara konvesional, yaitu dengan menggerakan pajak dan uang riba yang didukung dengan tata cara hubungan politik antara lembaga keuangan internasional Bretton Wood, World Bank dan IMF (kenapa kita menarik IMF lagi?)

Harus diakui penilaian secara kertas akan sangat menarik jika didebatkan, dalam artian diterjemahkan secara ucapan atau disebut pertimbangan langkah kedua. Beberapa minggu ini, debat capres-cawapres kelima segmen tersebut saya ikuti dan dianalisa secara poin per poin. Pernah juga saya bahas mengenai materi debat tersebut, akan tetapi dari pembahasan debat ada yang tidak dibahas, terutama keuangan secara syariah (sangat disayangkan).

Dari lima kali debat, kedua-duanya membahas dengan cara yang menarik dan cenderung terlemparkan emosi. Beberapa poin diatas selain syariah dan pajak dibahas secara terbuka, bahkan ada yang berlawanan dengan apa yang disampaikan secara tertulis.

Poin debat pertama pembahasan ekonomi melalui koperasi, dimana disampaikan secara gamblang tetapi berlawan terhadap apa yang disampaikan dalam tulisan oleh capres-cawapres yang satunya sehingga membentur kalimat bahwa setuju diperlukannya Soko Guru Ekonomi Indonesia. Sedangkan yang satunya lagi membahas kekuatan ekonomi dari hilangnya pendapatan negara yang sudah diketahui oleh umum akibat lemahnya pengawasan dan kesadaran berbangsa (korupsi).

Mengenai pertahanan pasangan yang satu tidak membahas secara detail dalam tulisan dan lebih mengusungkan penguatan ekonomi terlebih dahulu, sedangkan yang satunya lagi membahas detail mengenai permasalahan alutista hingga ke badan intelejen negara dan kepolisian (reformasi yang entah mengarah kemana?). Kedua-duanya membahas secara pemahaman masing-masing bahkan salah satu capres sangat meyakini bahwa dia lebih tahu dibandingkan ahli dan pakar militer sekalipun (terlihat arogan tanpa data dan fakta).

Berdasarkan penilaian saya, pasangan yang satu mampu bersikap sejujurnya dan mawas diri serta egaliter (terbuka). Sedangkan satunya lagi meyakini bahwa mereka lebih tepatnya “dia” tahu akan mana yang baik dan tepat untuk masyarakat akan tetapi aplikasinya mikro. Hal ini dapat menjadi pertimbangan utama bahwa dari hulu ke hilir pasangan atau lebih tepatnya “dia” tidak tahu dan mengerti proses hulu-hilir sebuah negara karena kurangnya wawasan dan pengalaman.

Kejujuran juga menjadi kunci penilaian saya, dengan tidak mengakui bahwa “dia” salah dalam perkataan maupun sikap, merupakan tanda bahwa kebohongannya terhadap masyarakat kedepannya akan merugikan kita semua baik yang berdomisili dalam negeri maupun luar. Mengenai kebiasaannya “ngeles” saya yakin kita semua memperhatikan, dan mengetahui baik langsung maupun tidak langsung tidaklah mempunyai jiwa besar. Tanpa bermaksud menuduh kontradiktifnya antara tulisan dengan ucapan, sepertinya menandakan bahwa “dia” tidak mencari referensi/bacaan atau bahkan tidak menulis visi-misinya sendiri (sangat disayangkan).

Sangat disadari bahwa tulisan ini cukup panjang untuk dimasukan kedalam blog, akan tetapi semoga ini menjadi keyakinan saya berdasarkan data-fakta sehingga menghasilkan analisa yang jujur tanpa memberatkan pihak sebelah. Penulisan ini dilakukan melalui tata cara ilmiah, tanpa memaksakan emosi yang menyudutkan seseorang sangat dibutuhkan dalam penilaian ini.

Akhirnya saya bermimpi bahwa saya dibangunkan oleh petugas pajak yang syariah, dengan cara-cara menyenangkan. Dengan masyarakat rajin membayar pajak, terutama membayar zakat. Semoga Nusantara menjadi negara maju dan mampu berperan aktif dalam permasalahan dunia dan termasuk mampu menghentikan perang! Amin.

Saya pilih pak PRABOWO dan pak HATTA, yang insyaAllah amanah dan lebih sedikit mudharatnya.

Komentar