Subsidi BBM Premium 2014

Semalam setelah kedatangan pak Jokowi ke Indonesia, setelah dilakukannya rapat-rapat yang nampaknya mendesak. Didapatkan keputusan yang sudah diperkirakan jauh-jauh hari mengenai rencana kenaikan BBM bersubsidi tersebut, atau lebih tepatnya premium atau disebut juga oktan 88 dan solar. Pukul 21.00 WIB pengumuman secara berkelanjutan oleh presiden kemudian dilanjutkan oleh jajaran menteri terkait, ditentukanlah harga BBM subsidi senilai Rp. 2000,- rupiah atau dari 6.500 naik menjadi 8.500. Sedangkan kenaikan yang sama pada solar juga sama dari 5.500 naik menjadi 7.500 dengan selisih 2.000 rupiah Ditentukannya juga batas waktu naiknya premium dan solar pukul 00.00 WIB, dalam waktu kurang dari 30 menit SPBU seluruh Indonesia segera dipenuhi kendaraan bermotor, termasuk saya.

Jangan sampai salah mengartikan bahwa yang naik adalah harga keseluruhan BBM!?, kenaikan hanya pada BBM bersubsidi saja atau premium (oktan 88) dan solar. Sedangkan harga Pertamax (oktan 92), Pertamax Plus (oktan 95) sudah mengikuti harga pasar internasional dan sudah turun dari minggu lalu dan kemungkinan terus turun. 

Saya memperhatikan harga oktan 92 yaitu 10.200,- dan oktan 95 yaitu 11.600,- harga pasar dunia. saya mencoba berhipotesis mengenai harga sebenarnya dari oktan 88 ini? Dimana beberapa pertimbangan hasil mencari melalui media online berapa harga-harga yang bisa saya hitung kasarnya. Tetapi juga ada pertimbangan harga diluar komersial, seperti kondisi kebutuhan ekspor-impor BBM.

Pertama: Harga oktan 88
Oktan 88 atau premium tidak diketahui secara umum didunia maya, hingga saat ini tulisan saya keluarkan tidak diketahui berapa angkanya semenjak diproduksi dari crude oil hingga terbentuk di oktan 88. Okey, bagaimana jika saya asumsikan dalam 2 hal. Pertama, jika pemisahan pengolahan level oktan dari 'Pertamina' hanya dilevel oktan 88 saja yang terendah, berarti sudah terbentuk diawal? (Mohon koreksi pengetahuan umumnya). Kedua, jika membandingkan selisih angka oktan antara 92 dengan 95 atas selisih harganya, maka didapatkan harga pengolahan per oktan-nya.

Semalam oktan 95 diketahui pada kisaran 11.600,- dan oktan 92 pada kisaran 10.200,-. Selisih jumlah oktan 95 dengan 92 adalah 3 oktan. (Perhitungan kasar). Berikut skema kasarnya:

Sehingga nilai oktan 88 atau premium tanpa subsidi sebenarnya sejumlah 8.350,- (digenapkan). Dibandingkan dengan harga sebelumnya dengan subsidi 6.500,- maka negara memberikan subsidi per liter 1.650,- rupiah.

Akan tetapi setelah dinaikan 2000,- per liternya maka pemerintah tidak menombok sama sekali, melainkan mendapatkan keuntungan 150,- rupiah per liter. Walaupun hitungan ini sangat kasar, saya mempertimbangkan hitungan ini dari kasat mata saja, atau menghitung dengan kalkulator pasar bapak-bapak penjual bahan pokok.

Jika dalam tulisan pajak mengenai jumlah konsumsi premium mencapai 32.4 juta KL pertahun maka asumsi pendapatan negara dikalikan dengan keuntungan 150,- rupiah per liter, bisa mencapai 4.8 Triliun! Angka cukup fantastik bagi pendapatan negara, dan mungkin bisa dimasukan kedalam APBN dan pembayaran hutang!? Jika dilihat penjualan kepada masyarakat terbilang murah. Tetapi terasa sesuatu yang cukup aneh? Artinya tidak disubsidi?

Kedua: Ekspor-Impor Minyak Dunia
Dalam perjanjian kerjasama ekspor impor minyak mentah? Diketahui bahwa batasan oktan dalam perjanjian tersebut adalah oktan 90, dimana berarti kebutuhan peningkatan oktan 88 menuju 90 dibutuhkan biaya tambahan sekitar 75,- rupiah. Sedangkan jika dalam negeri penggunannya cukup dikelola dan dijual dengan subsidi maupun tanpa subsidi.

Ini mengindikasikan bahwa energi fosil pada oktan 88, sangat mudah dipergunakan oleh masyarakat Indonesia dengan mudah dan murah tentunya. Terutama bagi pengendara roda dua dan empat yang berhemat dengan bahan bakar ini.

Perbandingan harga BBM yang bisa saya ambil, adalah negara tertangga yang sering konflik dengan kita adalah Malaysia. Walaupun mereka (mungkin) tidak mempunyai pengangkatan minyak seaktif Indonesia (sepertinya), harga yang ditawarkan pada oktan/Ron 95 adalah 2.3 RM atau 8.380,- rupiah dengan subsidi pemerintah senilai 0.13 RM atau 473,- rupiah.

Ini sesuatu yang gila! Dimana harga Malaysia bisa semurah itu dengan oktan 95, atau di Indonesia dalam kamus Pertamina Pertamax Plus!? Maka harga yang ditawarkan dengan BBM yang ditawarkan serta disubsidi pula menjadi suatu pertanyaan. Apakah nilai pajak yang berbeda, maupun pembangunan infrastruktur yng berbeda, hingga pasar, pendidikan bahkan kesehatan yang berbeda?

Hipotesis - Analisis
Model angka yang saya sampaikan belumlah tentu akurat, seperti ketidaktahuan saya mengenai angka oktan/RON. Apakah disebutkan bahwa sebenarnya oktan itu per level seperti oktan 88, 88, 90 hingga 97. Sehingga ketidak akurat penilaian bisa seketika gugur. Tetapi jika dicek lebih lanjut, diketahui bahwa ada pembagian level oktan sehingga asumsi pertama tidak bisa digugurkan.

Akan tetapi jika dibandingkan dengan Malaysia mempunyai nilai jual pada oktan 95 seperti keterangan diatas, maka asumsi bisa dipertahankan. Didasarkan faktor nilai jual dan pajaknya, maka ini yang dinilai banyaknya potongan sana-sini, kutipan sana-sini yang membebankan anggaran kepada masyarakat. Atau lebih pantas kita sebut dengan mafia migas!

Dari asumsi diatas, pertanyaannya adalah? Benarkah ternyata kita sudah tidak subsidi lagi, dan kita menyumbangkan APBN negara? Apakah pak Jokowi sudah lupa dengan sejarah penolakan BBM dizaman SBY?

Walaupun saya mendukung tidak ada subsidi BBM, dan saya sadar tidak mungkin pengalihan biaya subsidi selama ini untuk pembangunan dapat menghasilkan dalam waktu dekat. Tetapi permintaan saya (yang tidak mungkin didengar) kepada pak Jokowi, perlunya mengencangkan ikat pinggang para punggawa pemerintahan dan jajarannya. Agar bukan hanya masyarakat yang gigit jari dan barisan sakit hati melihat pejabat menggunakan APBN untuk aktifitas berlebihan. Batasi juga anggaran kesejahteraan pemimpin pemerintahan berupa tunjangan-tunjangan yang diluar perhitungan, tunjukan kepedulian dengan aksi ikat pinggang.

Walau saya yakin pak Jokowi tidak baca tulisan ini, tapi saya yakin setidaknya beliau melihat kegelisahan masyarakat akan efek kenaikan BBM dalam waktu singkat, dan kesulitan dalam waktu berbulan-bulan. Terutama karena cepatnya pak Jokowi mengambil keputusan?

"Jadi kamu dukung pencabutan subsidi BBM rul?" Tanya teman saya diujung telepon.
"Iya dengan berat hati, saya sendiri mengencangkan ikat pinggang. Sedih melihat yang susah karena biaya dapur naik, angkutan umum yang 'terpaksa' naik, dan entah apalagi!?" Jawab saya panjang dan pelan.
"Apapun kejadiannya, saya rasa Jokowi lupa dengan perkataannya ketika menjabat Walikota Solo dan Gubernur DKI" Kalimat teman saya meradang
"Sabar, Allah yang menentukan akhir dari sikap tawakal kita. Semoga diberikan kemudahan untuk kita semua" Tutup saya sambil mengakhiri pembicaraan.

Tidak lama selesainya penulisan ini, saya membaca pengingat yang bagus. Semoga ini menjadikan titik balik (BBM Naik, Siapa Takut?) kita percaya akan rezeki dari Allah SWT. 


Komentar